Jumat, 25 Desember 2009

Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara : Sebuah Catatan Penelitian


Farchan Bulkin
Perkembangan perspektif dan pendekatan pada masalah politik Indonesia tidak hanya dibatasi oleh ketidakmampuan ilmu politik tradisional dan dirumitkan oleh peran epistemologi, ideologi dan sikap para pengamat itu sendiri, tetapi juga oleh kompleksitas kenyataan Indonesia. Sebab itu tentunya sangat sulit menunjukkan secara pasti dan menganalisa struktur: apakah sebenarnya yang
salah dalam studi politik Indonesia. Menyadari bahwa sangatlah sederhana dan secara intelektual berbahaya untuk menyatakan segala kesulitan dalam studi politik Indonesia bersumber pada keterbatasan ilmu sosial dan kompleksitas Indonesia, tulisan ini berpendirian, bahwa pemecahan sementara–dengan semangat untuk membuka dan menghindari stagnasi intelektual–haruslah dikejar.

Pencarian Jalan
Beberapa pendirian teoritis untuk mencari pemecahan sementara itu perlu terlebih dahulu dikemukakan. Pertama, perspektif “satu dimensi” yang telah mendominasi studi politik Indonesia hendaknya melengkapi satu sama lain demi terbentuknya perspektif baru dan komprehensif sifatnya. Perkembangan studi politik Indonesia menunjukkan, bahwa walaupun mereka yang menggunakan perspektif satu dimensi– seperti analisa struktur masyarakat, tesis kesinambungan, pendekatan kultural atau analisa kesejarahan yang mendetail–
menyadari sepenuhnya kekuatan masing-masing pendekatan, dan memang memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami politik Indonesia, namun perspektif satu dimensi itu telah gagal menangkap realitas Indonesia yang multi-dimensional. Kedua, pendekatan pada masalah politik Indonesia seharusnya tidak gagal untuk mengakui suatu kekuatan sejarah besar yang masih mempengaruhi dunia–yaitu perkembangan kapitalisme. Karena kapitalisme telah dan masih mempengaruhi masyarakat Indonesia, maka analisa yang gagal memasukkan kenyataan ini berarti menolak realitas sejarah. Lebih-lebih analisa dan perspektif yang terlalu kuat menekankan bahwa realitas politik Indonesia adalah spesifik Indonesia, hanya akan membawa ke arah provinsionalisme intelektual dan justru menumpulkan analisa. Pernyataan pertama menyarankan pentingnya struktur sosial dan ekonomi dalam menganalisa politik Indonesia. Sedangkan pernyataan kedua menyarankan asumsi, bahwa ada beberapa kategori umum dalam masyarakat mana pun pada suatu periode sejarah tertentu, yang menuntut perhatian serius, seperti munculnya negara, kelas dan kelompok sosial dan ekonomi, dengan masing-masing proyek politik, kepentingan ekonomi dan pandangan ideologi, dan struktur sosial dan ekonomi yang menghalangi atau memajukan perkembangan mereka. Analisa politik Indonesia yang sengaja mementingkan struktur sosial dan ekonomi, belum bcrkembang. Dalam banyak studi, kesadaran akan pentingnya kondisi-kondisi struktural memang secara sporadic nampak. tetapi belum satu pun berhasil memberikan kerangka analisa yang solid, yang mampu menjelaskan akibat perubahan struktur sosial dan ekonomi terhadap banyak kejadian dalam sejarah politik Indonesia. Pendekatan politik ekonomi, khususnya yang menekankan pembentukan kelompok dalam hubungannya dengan penetrasi ekonomi ke dalam ekonomi Indonesia, nampaknya memiliki harapan sebagai suatu pendekatan pada masalah yang saling berhubungan antara struktur sosial dan ekonomi pada perubahan dan konflik politik. Seperti yang ditunjukkan oleh studi Schmitt mengenai perpecahan elit akibat konflik kepentingan ekonomi, dan studi Lev mengenai peranan golongan menengah, struktur ekonomi, telah diterjemahkan ke dalam grupgrup politik yang relevan sebagai pelaku-pelaku dalam perubahan politik.1

Sekalipun sebenarnya analisa struktur sosial dan ekonomi relevan untuk menganalisa masalah kultural dan konflik ideologis, namun pendekatan politik ekonomi belum berhasil secara memadai menangani masalah itu. Untuk bisa komprehensif, pendekatan politik ekonomi perlu menggabungkan masalah-masalah tersebut. Akhirnya, studi politik Indonesia belum secara memadai menangani masalah sulit di sekitar watak dan kecenderungan pelaku politik penting di Indonesia, yaitu negara dan birokrasi. Sebagian besar studi menyinggung masalah itu hanya secara sambil lalu saja, malahan sering merefleksikan asumsi-asumsi pluralis-liberal mengenai negara. Negara dipandang sebagai entitas otonom, yang hanya mengurusi keselamatan masyarakat dan sistem politik melalui integrasi individu-individu, pemaksaan sosial kontrol dan pengaturan konflik-konflik. Proses yang menuju politisasi negara dan birokrasi, memaksa para pengamat untuk merevisi asumsi tersebut, dan mencari pandangan alternatif. Kesibukan para pengamat mencari model politik Indonesia itu sebagian besar merupakan rifieksi dari perkembangan tersebut.

Tetapi model-model yang ditawarkan sejauh ini temyata lebih banyak merupakan hasil reaksi cepat terhadap gejala yang mehonjol dari rezim yang ada, daripada usaha yang secara sengaja hendak menyusun suatu skema, penjelas–yang mampu menerangkan kepada kita–sifat hubungan rumit antara politik, negara dan masyarakat.3 Kondisi struktural, ciri dan kecenderungan ideologis yang kuat dalam masyarakat tidak secara memadai ditangani. Untuk melandaskan diri pada pijakan yang kuat, model mengenai negara, birokrasi dan rezim hendaknya secara koheren bisa menggabungkan fenomena ideologis dan kondisi struktural dalam masyarakat. Dengan singkat, studi politik Indonesia dihadapkan kepada tantangan untuk mencermikan suatu peta penjelas dari saling hubungan yang rumit antara struktur sosial dan ekonomi, ideologi dan negara. Dalam dekade tujuhpuluhan, tiga isyu di atas secara terpisahpisah telah mulai ditangani, terutama untuk mencari pendekatan penjelas terhadap saling hubungan yang dinamik antara negara dan masyarakat sipil dalam struktur masyarakat post-kolonial. Tiga aliran pikiran itu menghasilkan tiga perspektif teoritis: 1. teori mengenai negara dalam masyarakat pinggiran; 2. konsep dan model rezim yang birokratik dan otoriter; dan 3. statisme organic sebagai suatu model pemerintahan.

Pikiran pertama mengarahkan analisanya pada konsekuensi dan implikasi adanya cara produksi kapitalisme pinggiran untuk memahami watak dan ciri negara, politik dan ideologi. Pikiran kedua memusatkan perhatian pada transformasi politik akibat adanya ketegangan sosial dan politik yang disebabkan oleh proses industrialisasi pada tingkat elit maupun masyarakat luas. Sedangkan yang ketiga, menangani masalah hubungan antara negara dan masyarakat dalam hubungannya dengan ideologi yang muncul sebagai penolakan dua sistem yang ada, kapitalisme dan sosialisme. Tiga proyek teoritis tersebut telah menangani tiga aspek penting hubungan antara negara dan masyarakat dalam struktur masyarakat pinggiran. Sintesis dari ketiganya diharapkan bisa memperoleh gambaran yang lebih baik dari negara dan politik dalam masyarakat pinggiran tersebut.

Pada tingkat pertama, analisa struktur sosial dan ekonomi memberikan suatu kerangka untuk mendeteksi watak dan ciri dari bermacam-macam kelompok, kelas dan negara serta bermacammacam koalisi yang mungkin, terutama dalam hubungannya dengan pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi internasional. Karena analisa struktur sosial dan ekonomi memiliki kemampuan memperjelas keadaan sosial dan ekonomi yang mendorong atau membatasi peranan ekonomi dan politik dari bermacam-macam kelompok politik dan negara, ia juga mampu menjelaskan peranan yang menonjol dan otonom dari negara dan kesulitan yang dihadapi kelompok-kelompok bukan negara–terutama kaum pedagang dan pengusaha–dalam mencari peranan politik dan ekonomi mereka. Pada tingkat kedua. model negara birokratik dan otoriter menangani masalah-masalah di sekitar saling hubungan antara kelompok, kelas dan negara dalam konteks tingkatan proses industrialisasi. Lebih spesifik lagi, model ini bisa membantu kita untuk memusatkan perhatian pada masalah legitimasi negara, dan pluralisme dalam masyarakat. Model seperti yang ditawarkan oleh
O’Donnell akan mampu membantu kita memahami timbulnya ketegangan antara negara dan masyarakat, yang bisa diantisipasikan sebagai akibat dari keruntuhan yang tidak bisa dielakkan dalam mediasi antara negara dan masyarakat, yang akhirnya menuju kepada krisis legitimasi suatu negara. Akhirnya pada tingkat ketiga, model statisme-organik akan bisa menjelaskan tumbuhnya ideologi yang bukan kapitalis dan sosialis. Fenomena ini bisa kita pandang sebagai rasionalisasi ideologis bagi kelompok politik, kelas dan negara sendiri dalam menghadapi lingkungan ekonomi dan politik mereka. Rasionalisasi ini merupakan suatu keharusan bagi kelompok-kelompok untuk mempertahankan diri dan juga untuk mengejar kepentingan politik dan ekonom
mereka.

Dengan demikian, apabila tiga proyek teoritis tersebut dikembangkan, diharapkan bisa memecahkan tantangan yang dihadapi studi politik Indonesia. Salah satu caranya adalah menganalisa masalah-masalah strategis dalam perkembangan politik Indonesia, yang di satu pihak memang kelihatan sangkutpautnya dengan masalah-masalah struktur sosial dan ekonomi, negara dan ideologi, dan di pihak lain bisa secara sintesis dianalisa dengan tiga proyek teoritis tersebut. Di sinilah letak pentingnya kita mempelajari kapitalisme, golongan menengah dan negara.

Di bawah ini akan kita lihat secara garis besar bagaimana analisa terhadap ketiga tema tersebut bisa membawa kita kepada masalah struktur sosial dan ekonomi, negara dan ideologi. Golongan Menengah, Kapitalisme dan Negara Golongan menengah yang dimaksudkan di sini bukanlah golongan yang menjadi penggerak utama dalam tahap permulaan kapitalisme di Eropa Barat atau negara-negara industri pada saat ini, tetapi kelompok sosial dalam masyarakat yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin suratkabar, kaum pengusaha dan pedagang pribumi, ahli hukum dan kelompok-kelompok profesional yang lain.5 Pentingnya kelompok ini dalam sejarah politik-ekonomi Indonesia ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama, kelompok ini baik di zaman kolonial maupun pasca-kolonial telah menjadi pusat-pusat masyarakat untuk berperanan dalam kegiatan negara dan dalam mengartikulasikan serta merumuskan ideologi untuk masyarakat secara keseluruhan. Dengan begitu mereka menjadi semacam penghubung antara negara dan masyarakat. Kedua, kelompok golongan menengah memiliki wawasan dan kesadaran pada kondisi yang diperlukan untuk mengejar kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka. Berkat pendidikan dan ekspose pada pikiran dan pemikiran politik Barat, mereka mampu menerjemahkan kepentingan ekonomi ke dalam sistem politik dan ideologi yang cocok dengan kepentingan itu. Di zaman kolonial maupun pasca-kolonial golongan ini terus menerus telah memperjuangkan orde politik dan ideologi yang cocok tersebut. Ketiga, golongan menengah adalah kelompok yang secara cepat dan kelihatan segera, betapa mereka dipengaruhi oleh kondisikondisi struktur sosial dan ekonomi, yang mendominasi Indonesia baik di zaman kolonial maupun pasca-kolonial. Sejarah hidup mereka mencerminkan perkembangan dan perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi Indonesia. Dengan demikian golongan menengah memiliki posisi strategis dalam usaha kita menganalisa struktur sosial dan ekonomi, ideologi dan negara. Kapitalisme yang dimaksud di sini juga bukan seperti yang berkembang di Eropa Barat, tetapi kapitalisme pinggiran.

Jenis kapitalisme ini sebenarnya juga suatu ekonomi yang kapitalistis, di mana modal, keahlian, pengetahuan dan buruh memegang peranan penting dalam mengeksploitasi sumber-sumber alam untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh pasaran dengan tujuan pokok mengumpulkan keuntungan dan juga modal. Istilah pinggiran menunjukkan suatu keadaan di mana keuntungan dan modal yang ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar, yaitu dalam kapitalisme tengah. Seperti kita ketahui, struktur ekonomi merupakan suatu alokasi dari faktor-faktor produksi, penguasaan atau pemilikan dari kekuatan-kekuatan ekonomi. Karena
kapitalisme pinggiran merupakan suatu struktur ekonomi, maka ia juga menjadi faktor pendorong atau penghambat bagi pesertapeserta dalam proses ekonomi.
Kedua, secara struktural kapitalisme pinggiran selalu aka menciptakan ekonomi yang berat sebelah dan berorientasi ke luar, di mana kegiatan-kegiatannya terpusat pada bidang-bidang ekstraktif dan ekspor, sehingga tidak mendorong terciptanya industrialisasi. Kegiatan-kegiatan golongan menengah memperkuat kedudukan ekonominya, dan juga negara–dalam memperoleh pendapatannya–ditentukan oleh kondisi-kondisi kapitalisme pinggiran. Sebagai suatu struktur sosial dan ekonomi, kapitalisme pinggiran merupakan kondisi penentu bagi negara dan golongan menengah untuk mempertahankan survival ekonominya.

Pada analisa selanjutnya bisa dilihat bahwa negara dan golongan menengah akan terlibat dalam argumentasi dan pembenaran ideologis dan kultural untuk mempertahankan eksistensi serta keselamatan ekonomi mereka dalam kondisi kapitalisme pinggiran. Untuk melihat negara sebagai suatu yang bersangkutpaut dengan struktur sosial dan ekonomi serta ideologi, maka kita bisa memandangnya sebagai suatu institusi umum yang imperatif sifatnya, yang demi keselamatan ekonominya harus menguasa sebagian sumber ekonomi nasional melalui sistem perpajakan dan membelanjakannya sesuai dengan kebijaksanaan umum ekonomi. Dengan demikian negara memiliki relevansi ekonomi. Struktu pendapatannya tergantung pada struktur ekonomi dan juga merefleksikan struktur ekonomi yang dominan. Pembelanjaan negara, yang secara potensial memiliki akibat pada seluruh perekonomian, juga sebagian besar ditentukan oleh cara negara mengumpulkan pendapatannya. Tetapi dalam kegiatan ekonominya, negara tidak bergerak dalam ruangan yang secara politik bebas. Masyarakat sebagai keseluruhan menuntut penjelasan yang bisa diterima, sehingga negara terpaksa mempertahankan suatu tingkat legitimasi. Dipandang secara demikian sebenarnya negara berdiri di antara dua kutub yang mestinya selalu seimbang: di satu pihak harus memenuhi kebutuhannya untuk menguasai sebagian dari sumber-sumber ekonomi dan mengontrol pembelanjaannya, tetapi di pihak lain secara terus menerus harus memberikan pembenaran ideologis demi legitimasi politiknya. Dengan begitu negara nampak sebagai lembaga yang erat hubungannya dengan struktur sosial dan ekonomi serta ideologi.

Perkembangan Kapitalisme Pinggiran (Peripheral Capitalism)
Pertumbuhan tahap permulaan kapitalisme pinggiran ditandai oleh didirikannya perusahaan negara N.H.M (Nederlandsche Handel Maatschappij) pada tahun 1825 dan Javasche Bank tahun 1828, yang disertai dengan intervensi langsung oleh negara dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.7 Setelah menguasai kembali Hindia Belanda dari kekuasaan Raffles, pemerintah Belanda menyadari bahwa sangatlah kecil penghasilan yang akan diperolehnya dari sistem liberal yang diperkenalkan Raffles. Maka diusahakanlah suatu metode baru dalam manajemen ekonomi. Dalam sistem liberal, pemerintah memperkirakan kesulitan yang dihadapinya untuk memperoleh kembali dominasinya di laut, mengingat posisi Inggeris yang telah menguasai perdagangan dan bisnis perkapalan di daerah itu. Di pihak lain pemerintah juga menghadapi masalah pelik yang telah lama ada: lemahnya golongan swasta dalam menyediakan modal yang cukup untuk mengeksploitasi Jawa secara efisien. Untuk menghadapi situasi ini, maka suatu tradisi tua dari pernerintah Belanda dalam menangani daerah-daerah koloni–yaitu staatsbedrijf atau perusahaan negara–dibangkitkan lagi. NHM yang bertindak sebagai agen impor-ekspor untuk pemerintah Belanda di seluruh dunia, khususnya di Hindia Belanda, dan Javasche Bank untuk mengurus masalah-masalah finansialnya, adalah manifestasi dari dibangkitkannya sistem itu. Dasar-dasar institutional dan organisasi dari kebijaksanaan ekonomi adalah diperkenalkannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang dilaksanakan sampai tahun 1879-an. Luas dan intensitas sistem ini telah membikin periode itu sebaga babakan penting dalam pertumbuhan kapitalisme di Jawa. Dalam skala yang lebih kecil, periode ini hampir menyamai situasi pada abad ke-15 dan 16, dari perkembangan kapitalisme di Eropa.

Sistem ini telah menghancurkan elemen-elemen tua nonkapitalis di masa lalu dan menjadi tanda lahirnya suatu jenis kapitalisme. Kapitalisme merkantilis yang berkembang di negeri Belanda dimanifestasikan di Hindia Belanda dalam suatu kerjasama yang harmonis antara modal dan negara, adalah penggerak utama dalam proses ini. Negara memberikan aparatur yang luas untuk mengamankan monopoli produksi, perdagangan dan keuangan.
Dengan dibentuknya NHM, negara mencapai monopoli penuh dalam perdagangan, sedangkan Javasche Bank menangani masalah keuangan negara dan NHM. Dengan bantuan dari para bupati dan kepala desa, negara telah memberikan aparat organisasi demi menjamin mengalirnya produksi pertanian dari kaum tani Jawa. Demikianlah, maka pulau Jawa telah berubah menjadi perkebunan perusahaan negara yang sangat besar. Karena negara ragu-ragu memberi izin kaum swasta masuk dalam proses produksi, mak peranan mereka masih terbatas dalam bidang pengolahan hasil produksi. Dalam sistem ini bidang usaha perusahaan-perusahaan swasta masih terbatas pada pengolahan. Modal tidak dimasukkan secara besar-besaran, tetapi kebutuhan akan modal yang tidak begitu besar–yang berasal dari keuntungan sistem itu–diberikan oleh negara. Lebih-lebih, kaum pengusaha swasta bebas hanya merupakan sisa dari zaman Raffles. Sekalipun demikian sistem ini telah melahirkan akibat yang tidak disengaja, yang kemudian merupakan faktor penting dalam pertumbuhan kapitalisme selanjutnya. Yang paling penting adalah semakin luasnya industri gula. Dalam tahun permulaan sistem tanam paksa, besarnya modal yang diperlukan, resiko-resiko yang timbul, sistem organisasi yang belum pernah dicoba serta usaha pemerintah memonopoli perdagangan gula, telah menghalangi kaum pedagang untuk menjadi kontraktorkontraktor gula. Kemudian, setelah industri gula terbukti mempunyai prospek yang baik maka bantuan finansial dan organisasi diberikan secara berlimpah-limpah oleh pemerintah.

Hal ini menciptakan kondisi di mana kaum kontraktor bisa memperoleh kcuntungan tinggi, dan keengganan untuk memasuki industri pun lenyap. Inilah permulaan dari usaha bebas di luar sistem tanam paksa yang lambat laun membawa produksi pertanian, tanah dan buruh ke dalam usaha-usaha kapitalistis. Titik kritis periode ini–dalam pertumbuhan kapitalisme di Hindia
Belanda–terletak pada kebersaman antara sistem tanam paksa dan perkembangan yang stabil dari industri gula swasta. Jelasnya, pemerintah di satu pihak membangkitkan kembali aparatur kekuasaan tradisional untuk menggerakkan petani dalam proses produksi, tetapi di pihak lain membantu tumbuhnya usaha-usaha bebas kaum swasta. Pemerintah mempertahankan cara-cara produksi nonkapitalis, tetapi di pihak lain memberi kebebasan bagi tumbuhnya elemen-elemen kapitalisme. Inilah sebabnya pada periode ini di tanah Jawa terjadi pencampuradukan yang membingungkan antara buruh paksa, dan buruh upahan, pemilikan tanah individual dan kolektif, pajak hasil bumi dan uang, serta teknik-teknik dan organisasi moderen dan tradisional dalam penggarapan tanah. Pencampuradukan ini di satu pihak mencerminkan suatu ciri transisional dari periode ini, dan di pihak lain pembagian kerja yang efektif antara modal dan negara, yang dikongkritkan dalam NHM sebagai kapitalisme negara. Ketidak seimbangan dan distorsi dalam susunan masyarakat yang muncul sejak zaman kekuasaan VOC bukan hanya tetap ada, tetapi malah bertambah buruk. Kaum bangsawan mulai berantakan dan peranan mereka direndahkan menjadi kepala-kepala produksi. Karena pemerintah Belanda mengejar kepentingan ekonominya melalui maksimalisasi produksi, maka watak-watak dispotik dari kaum bupati dan kepala desa juga bertambah. Dimensi penting dalam perubahan sosial dan politik ini adalah semakin tergantungnya kaum bangsawan pada kekuasaan politik Belanda. Mereka lebih mewakili kepentingan Belanda daripada kepentingan desa. Peranan birokrasi Belanda–Binnenlands Bestuur–berkembang, karena pelaksanaan tanam paksa menuntut banyak peraturan, dan untuk tingkat tertentu, manajemen ekonomi
moderen. Tanam paksa bukan hanya membuyarkan susunan masyarakat lama, tetapi juga memberikan efek yang lebih dalam memperkuat ciri “pluralistik”–seperti istilah Furnivall–dalam masyarakat dengan mendorong pertumbuhan golongan Eropa dan Cina.

Kemajuan yang telah dicapai dalam industri gula dan perusahaan pertanian lain menciptakan golongan borjuis Eropa yang tersain dan tertutup. Sebagai golongan perantara dan peminjam uang di bawah sistem liberal Raffles, golongan Cina telah menikmati pengaruh besar yang menyaingi kekuasaan para bupati. Di bawah tanam paksa, golongan ini menjadi lemah, karena posisi bupati diperkuat lagi. Namun karena sistern ini terus menerus membutuhkan kontraktor, van den Bosch terpaksa memberikan kesempatan kepada golongan Cina untuk memperkuat ekonominya kembali. Ditambah lagi dengan kemajuan kegiatan impor dan perdagangan eceran, bukan hanya telah membawa kemajuan golongan Cina dalam jumlah, tetapi juga kekayaan dan pengaruh. Pelaksanaan tanam paksa telah membawa perekonomian Hindia Belanda lebih dekat pada ekonomi pertukaran dan lebih terintegrasikan pada pasaran dunia. Ini bisa dilihat pada pertambahan uang yang beredar di Jawa, jumlah pekerja upahan bebas dan semakin bebasnya modal masuk ke desa, pembangunan prasarana-prasarana seperti jalan dan sistem irigasi. Implikasi dalam negeri dari pengintegrasian ekonomi Hindia Belanda ini adalah terciptanya struktur yang tidak seimbang dan dualistis.
Dalam sektor enklafe atau ekspor, kapitalisme negara mengatur harga dan tingkat upah, mengontrol produksi dan menentukan proses produksi. Dalam sektor domestik, adalah unit-unit pertanian tingkat subsisten atau rumahtangga, sedikit industri rumah-tangga dan perdagangan kecil-kecilan. Melalui sektor ekspor, fluktuasi harga hasil bumi di pasar dunia melancarkan pengaruhnya ke dalam perekonomian Hindia Belanda. Gula, nila (indigo), kopi, tembakau dan beberapa hasil bumi lainnya membutuhkan tanah dan buruh– dua faktor produksi yang ditarik dari sektor domestik.

Dengan demikian perluasan atau penciutan sektor ekspor secara cepat dan menyolok, mempengaruhi sektor domestik. Dalam perkebunan produksi ekspor, di mana sektor ekspor dan domestik berdiri bersama dalam hubungan mutualistis–seperti dalam perkebunan gula–pemerintah dan pemilik pabrik gula memiliki suatu kepentingan untuk mempertahankan laju aliran buruh-buruh murah dan perolehan tanah. Dalam perkebunan yan
relatif tidak besar seperti kopi, ketergantungan pada tanah dan buruh, terciptalah sektor enklafe. Dengan demikian kapitalisme negara meletakkan dasar terciptanya struktur dualistis dalam perekonomian Hindia Belanda, di mana sektor ekspor dan enklafe telah menjadi cabang perekonomian Belanda. Pada akhir dekade 1860-an, Hindia Belanda–khususnya Jawa–telah menyelesaikan suatu babak pengalamannya yang membinasakan. Kapitalisme merkantilis, dalam bentuk tanam paksa, telah meruntuhkan struktur politik pribumi dan memperkuat tendensitendensi otoriter, menciptakan struktur masyarakat yang tidak seimbang dan pluralistis dan memaksakan suatu sistem perekonomian. Yang terakhir ini terjadi melalui suatu pelemahan dan akhirnya penghancuran hubungan-hubungan ekonomi nonkapitalis. Hubungan politik langsung antara kaum bangsawan dan petani, yang sebelumnya secara ekonomi masih fungsional, pada masa akhir sistem tanam paksa mulai menjadi tidak begitu relevan, malahan fungsional, karena pemerintah dan industri swasta menggantikannya dengan bermacam-macam hubungan ekonomi kontraktual.

Perkembangan kapitalisme di Jawa bukanlah akibat adanya gerakan dari dalam seperti di Eropa, melainkan akibat dorongan luar melalui pemasukan modal, keahlian, dan organisasi dari sistem kapitalis yang sudah berkembang di negeri Belanda. Boeke menamakannya “kapitalisme kolonial”, dengan ciri utamanya,
adalah: modal datang dari luar dan mencari penggunaan yang menguntungkan di negeri jajahan, terutama untuk modal permulaan dari suatu usaha dan kemudian berkembang sebagai pinjaman kepada pemerintah. Untuk kepentingan analisa dan alasan di bawah ini, tulisan ini menyebutnya sebagai “kapitalisme pinggiran” (peripheral capitalism). Pertama, keuntungan yang ditarik dari penggabungan modal, tanah dan buruh tidak ditanam dalam ekonomi tuan-rumah, melainkan dalam “kapitalisme pusat” di negeri Belanda. Besarnya kenaikan surplus dalam neraca perdagangan, besarnya uang yang diterima dari lembaga batig-slot dan besarnya keuntungan yang masuk ke negeri Belanda, adalah bukti-bukti pengaliran modal ke luar selama sistem tanam paksa. Inilah asal mula timbulnya fenomena kekurangan modal untuk akumulasi modal selanjutnya. Akibatnya–-dan ini adalah alasan kedua–lembaga dan organisasi
ekonomi kapitalis yang dipasan dari luar hanya akan berfungsi secara efektif kalau diintegrasikan ke dalam perekonomian kapitalisme pusat sebagai sumber modal. Kalau–-karena satu dan lain hal–keterikatan dengan pusat terputus, maka kapitalisme pinggiran akan menghadapi stagnasi dan dislokasi. Dengan demikian kapitalisme pinggiran akan selalu menjadi kapitalisme yang tergantung (dependent capitalism).8 Namun pelaksanaan sistem tanarn paksa di Jawa hanya secara embrionis meletakkan dasar-dasar kapitalisme pinggiran yang pada masa selanjutnya– periode ekonomi liberal–akan berkembang mencapai puncaknya. Kemenangan kaum liberal di negeri Belanda telah membawa perubahan yang mendasar di Hindia Belanda pada dekade 1860-an. Perusahaan negara NHM yang dulu dominan, kini mendukung perusahaan-perusahaan swasta, yang juga didukung oleh kepentingan bank yang kuat. Tiga soal dihadapi kaum liberal: penghapusan perkebunan negara, pengembangan perusahaanperusahaan swasta dan penyesuaian tariff. Suatu pemecaban jitu ditemukan oleh de Wall, Menteri Urusan Kolonial yang konservatif, yang memperkenalkan Undang-undang Agraria 1870 yang memberikan kebebasan dan keamanan pada perusahaan-perusahaan swasta tanpa merepotkan sewa tanah kaum pribumi. Undang-undang ini melembagakan institusi Eerfpacht di mana pengusaha swasta bisa menyewa tanah dari pemerintah dan bisa diwariskan sampai waktu paling lama 75 tahun, tapi di pihak lain menjamin hak-hak tradisional kaum pribumi atas tanah dan kemungkinan untuk memperoleh hak-hak individual atas tanah.

Pada tahun 1866, praktis sernua perkebunan negara hasil bumi seperti lada, cengkih, pala, nila, teh, kayu manis dan tembakau, telah dihapuskan. Undang-undang Gula tahun 1870 mengizinkan negara mengontrol perkebunan gula hanya sampai tahun 1878. Kopi masih dipertahankan di bawah perkebunan negara, tetapi hanya untuk pendapatan negara, bukan untuk perdagangan. Perdagangan luar negeri tidak dibebaskan sampai tahun 1872 ketika Undang-undang Tarif disahkan, yang menghapus perbedaanperbedaa pajak. Pembagian kerja antara negara dan pengusaha swasta yang lebih tegas mulai nampak selama periode liberal, dari permulaan tahun 1860-an sampai pertengahan tahun 1880-an. Di bawah serangan kuat dari golongan menengah Belanda, peranan negara cenderung menjadi terbatas, segan dan tidak rapi organisasinya. Negara kemudian mengalihkan konsentrasi kegiatannya ke bidang lain yaitu masalah-masalah birokrasi dan administrasi hukum. Dalam periode ini negara kolonial mengalami suatu modifikasi yang ekstensif secara vertikal maupun horizontal dalam aparat birokrasinya. Di bawah pengaruh liberalisme yang menekankan hukum dan orde, persamaan di depan hukum, pendidikan dan kesejahteraan umum, negara kolonial telah mengeluarkan banyak hukum dan perundang-undangan, bukan hanya untuk memberi perlindungan kepada pegawai-pegawai Eropa dan pribumi, tetapi juga untuk kaum pribumi di tingkat desa. Sehubungan dengan modifikasi birokrasi, administrasi kolonial mengambil pula langkah hukum untuk menghapuskan kerja paksa dan mendorong hubungan kerja kontraktual, serta pemilikan swasta atas tanah. Akhirnya “revolusi birokrasi” ini pelan-pelan mengganti birokrasi tradisional pribumi dengan birokrasi moderen Eropa yang akan memimpin ekonomi dan masyarakat ke arah hubungan kapitalistis.

Pengesahan Undang-undang Agraria 1870 dan Peraturan Persewaan 1871 telah mencanangkan kelahiran korporasi-korporasi perkebunan dan keuangan. Pengambil keuntungan yang cepat dari penemuan hukum ini adalah perusahaan-perusahaan individual yang telah berkembang sejak periode tanam paksa. Kebebasan memperoleh tanah dan modal memungkinkan perusahaan
mengimpor mesin- mesin dan secara substansial menambah produksi. Perkembangan ini juga ditopang oleh dua gelombang kemajuan dalam dunia perbankan di Hindia Belanda: yaitu pada tahun 1850-an dan pada awal dekade 1880-an. Sementara itu NHM dan Javasche Bank tetap dalam posisi kuat untuk memberikan bantuan yang diperlukan.

Perkembangan Puncak Kapitalisme Pinggiran
Krisis yang mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1880-an menunjukkan untuk pertama kali dalam sejarah Hindia Belanda, betapa sektor-sektor ekspor dan enklafe bukan hanya telah terintegrasi secara baik pada pasaran dunia, tetapi juga harus menerima akibat-akibat buruk dari krisis yang terjadi di dalamnya. Pada awal dekade 1880-an hama penyakit menyerang perkebunan gula dan kopi. Lebih berbahaya lagi adalah jatuhnya harga-harga
kopi dan gula secara mendadak di pasaran Eropa, yang sehagian disebabkan oleh depresi dan sebagian lagi karena munculnya gula bit. Secara kebetulan, bencana alam dan krisis dari luar ini memaksa suatu revisi dari politik liberal bebas sepenuh-penuhnya. Bencana ini telah mengancam suatu kebangkrutan total dari sistem ekonomi dan usaha-usaha untuk mengatasinya telah membawa
suatu perubahan struktural dalam organisasi dan manajemen keuangan usaha perkebunan dan modifikasi lebih lanjut dari eranan negara. Pada waktu selanjutnya nampaklah, bahwa transformasi ini ternyata sangat pokok dalam pertumbuhan yang terus menerus dari kapitalisme pinggiran dalam tiga dekade
pertama abad ke-20. Dalam menghadapi krisis itu peranan negara diperbesar dan diperkuat kembali. Sekarang negara bertanggung jawab bukanhanya pada masalah-masalah administratif–mempertahankan hukum dan keteraturan, memberikan fasilitas dan kesejahteraan umum–tetapi juga mengambil kembali peranannya yang penting dalam ekonomi. Yang terakhir ini terdiri dari partisipasi langsung dalam usaha perkebunan melalui perusahaan negara, NHM, eksplorasi dan penanaman modal dalam usaha-usaha yang prospek keuntungannya tidak cukup untuk menarik modal swasta seperti pertambangan, kehutanan dan pembangunan prasarana seperti pengangkutan kereta api yang menggunakan tenaga uap, jalan dan sistem irigasi. Ciri dan watak modal juga berubah. Modal kini di bawah komando lembaga-lembaga keuangan Belanda yang kuat dan besar. Usahausaha perkebunan individual diganti dengan usaha multinasional yang didukung bukan saja oleh kekuatan-kekuatan keuangan Belanda tetapi juga dari negeri Eropa lain. Kekuatan-kekuatan keuangan itu memiliki keterlibatan langsung dalam manajemen usaha-usaha perkebunan, dan dengan begitu keputusan penting berada di tangan mereka, bukan lagi di tangan usaha-usaha perkebunan individual.

Demikianlah pada awal abad ke-20, suatu mesin yang lengkap– terdiri dari modal besar dan aparatur negara kolonial–telah sia untuk membawa kapitalisme pinggiran ke puncak kejayaannya. Karena konsentrasi kekuatan ekonomi bergeser dari perusahaan negara ke perusahaan swasta dalam suatu proses yang telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, maka kapitalisme korporasi telah mengganti kapitalisme negara. Tetapi karena ekspansi peranan negara yang sangat diperlukan dan keharusan perusahaan swasta untuk mempertahankan hubungan yang erat dengan negara, maka kapitalisme korporasi yang berkembang juga masih menampakkan ciri-ciri merkantilis. Dengan demikian suatu kapitalisme campuran berkembang di Hindia Belanda. Krisis yang bersifat ekonomi di pertengahan dasawarsa 1880-an bukan hanya telah mendorong negara untuk melakukan partisipasi langsung dalam ekonomi, tetapi juga telah membawanya ke arah konsepsi yang lebih luas akan fungsinya. Pembaruan politik, dan administrasi mengenai cara-cara pemerintahan mulai diperkenalkan. Di bawah tema-tema umum efisiensi, kesejahteraan dan otonomi, pembaruan itu meliputi masalahmasalah desentralisasi, administrasi departemen dan teritorial, dan pengikutsertaan pribumi dalam birokrasi dan pengambilan keputusan. Semua ini juga disertai dengan perubahan ideology kolonial. Kalau ideologi liberal berpendirian bahwa tugas pokok negara adalah memberi kebebasan sepenuhnya kepada motifmotif ekonomi dan menghilangkan segala hambatan pada kemajuan-kemajuan ekonomi melalui usaha menegakkan hukum dan keteraturan, maka ideologi baru politik etis berpendirian, bahwa tugas pokok negara sifatnya konstruktif, membangun institusi-institusi politik, memajukan kesejahteraan material dan kesejahteraan umum.

Bersamaan dengan ini, perusahaan negara, NHM, mengubah dirinya menjadi perusahaan penanaman modal “setengah bank dan setengah pengusaha perkebunan,” dengan kekayaan ekonomi yang cukup besar dalam bentuk pabrik dan perkebunan. Pada tahun 1900 negara mulai mendirikan perkebunan karet dan dalam tahuntahun berikutnya, negara terlibat dalam produksi kelapa, minyak palem dan kapuk. Negara juga memegang peranan luas dalam kehutanan, perikanan dan produksi barang-barang tambang. Pola keterlibatan yang sama juga terjadi dalam pembangunan jalan kereta api, jalan dan komunikasi tenaga uap. Usaha negara untuk memajukan industri pengganti impor, khususnya dalam menghadapi kemungkinan terputusnya dengan pasaran dunia akibat perang dunia pertama, menghadapi halangan serius. Halangan ini di satu pihak juga mencerminkan watak kapitalisme pinggiran, khususnya yang berkembang di Hindia Belanda

Pertama, karena masih banyaknya kesempatan bagi penanaman modal di bidang-bidang yang sangat menguntungkan seperti pertanian dan pertambangan, sehingga tidak ada dorongan kuat untuk menanam modal di bidang industri. Kedua, karena perusahaan-perusahaan perkebunan yang kuat merasa bahwa industrialisasi akan meningkatkan upah buruh dan ekspor akan turun akibat mengecilnya impor barang-barang jadi, maka mereka menghalangi usaha industrialisasi pengganti impor. Ketiga, kepentingan industri Belanda, walaupun tertarik pada peningkatan hidup kaum pribumi, tetapi sangat khawatir akan munculnya persaingan dari Hindia Belanda, dan juga menghalangi usaha industrialisasi pengganti impor. Transformasi struktural dan pemasukan modal besar-besaran akhirnya membawa kapitalisme pinggiran ke puncak perkembangannya. Ini terutama disebabkan karena kebutuhan produksi besar-besaran untuk mendapatkan pasar di negara-negara tropis dan kebutuhan akan barang-barang mentah di pasaran Eropa, ang kemudian ditunjang dengan ekspansi birokrasi dari negara klonial. Modal yang ditanam di Hindia Belanda juga memilikiciri baru: monopolistis dan internasional.Pertumbuhan modal juga menuntut suatu divisi darifungsifungsinya. Bank-bank pertanian menambah skala kegiatannya,dan mengubah dirinya menjadi perusahaan pertanian biasa. Padawaktu yang sama, lembaga-lembaga perbankan lain membatasidiri pada kegiatan perbankan biasa. Sejajar dengan itu jugadilakukan oleh perusahaan pertambangan dan perusahaan daribermacam-macam jenis. Lembaga-lembaga permodalan ini, yangmewakili kekuatan modal Belanda, juga ditambah oleh kekuatanmodal bukan Belanda, yaitu pertumbuban pesat dari bank-bankasing. Pada saat ini kelompok Cina mulai berusaha masuk ke dalamperusahaan keuangan dengan membentuk bank-bank N.V.Bataviasche Bank, the Deli Bank, the Chung Wah Bank dan N.V.Tiong Ham. Modal yang ditanam oleh perusahaan-perusahaanBelanda dan bukan Belanda melalui jaringan-jaringan luas darilembaga-lembaga keuangan ini telah mendiversifikasikan dirinyadi luar perkebunan gula dan kopi, juga meluas ke perusahaanpertambangan, terutama minyak, yang mengembangkan usahanyadi luar Jawa. Pertumbuhan cepat dari modal dan semakin luasnyadivisi dari fungsi-fungsinya memulai proses konsentrasi kepentingandan kekuatannya. Ini dimulai dengan dibentuknya “PersatuanProdusen Gula” pada tahun 1918, yang diikuti oleh empat asosiasiuntuk produsen teh cinchona, kopi, cocoa dan tembakau. Padatahun 1920-an konsentrasi kekuatan ini mencapai suatu proporsisehingga–seperti dikemukakan Wertheim–”seluruh perkebunanberada di bawah superstruktur dari sindikat-sindikat dan kartelkartelyang kuat.” Melalui sindikat dan kartel ini, kepentinganmodal kolonial mempertahankan hubungan yang erat dengannegara, di antaranya, untuk meningkatkan produksi melalui kontrolekonomi bersama dan mengorganisasi riset-riset ilmiah.Modal telah memasuki ekonomi Hindia Belanda semakin dalam.Namun pola penanamannya masih tetap, terbatas secara eksklusifpada industri pertanian dan pertambangan besar, dan strukturekonomi dualistis yang tidak seimbang, yang telah berkembangsejak zaman tanam paksa, tidak berubah. Perubahan-perubahandalam struktur organisasi dan lembaga keuangan hanyamempengaruhi sektor ekspor dan enklafe saja: sisi Belanda dalamstruktur ekonomi dualistis.Ekonomi kaum pribumi tidak berubah, kecuali di Jawa di manaperkebunan gula berdampingan secara simbiotis dengan pertanianpadi basah, sehingga terjadi suatu proses yang oleh Geertz disebut“involusi pertanian”. Dalam periode ini perubahan strukturalsektor ekspor mulai mempengaruhi daerah luar Jawa–Sumateradan Kalimantan–tetapi tidak seperti yang terjadi di Jawa: yaituterkonsentrasi dalam sektor enklafe dan terbatas pada daerahpadat modal di sekitar produksi barang-barang mentah sepertikaret, timah dan minyak. Perbedaan efek ini menciptakan suatudikotomi struktural dengan implikasi politik dan ekonomi yangdalam sampai pada masa pasca-kolonial.Setelah jatuhnya harga gula dalam depresi tahun 1929, pusatkegiatan ekspor beralih dari Jawa ke Sumatera dan Kalimantan,yang telah mengintegrasikan pulau-pulau tersebut lebih jauh kedalam pasaran internasional. Dengan demikian, struktur ekonomidualistis menampilkan dimensi baru–ketidakseimbangan daerah–yang bertahan semakin dalam sampai perang dunia kedua menyapupulau-pulau Hindia Belanda.

Dampak Sosial dan Politik
Ketika kapitalisme pinggiran berkembang sampai ke puncaknya,ia bukan hanya memperkuat ketidakseimbangan dan distorsi dalamstruktur sosial, tetapi juga menciptakan ketegangan di antarastrata-strata sosial. Pada gilirannya ini juga menimbulkanketegangan antara negara kolonial dan masyarakat pribumi, yangakhirnya memuncak dalam gerakan politik kaum pribumi yangmempertanyakan legitimasi dari negara kolonial. Politik Etispemerintah kolonial yang menekankan pendidikan dan pencerahanintelektual itu telah mendorong gerakan-gerakan ini.Kapitalisme pinggiran dengan jaringan korporasi keuangan danusaha-usaha yang berkait-berkelindan telah mengubah watak dankecenderungan lapisan atas piramida sosial. Pengusaha Eropa dankelompok komersial, yang mendominasi lapangan kegiatan sepertiperkebunan, perdagangan luar negeri, pertambangan danperbankan, mengimpor kebudayaan Eropa, mendirikan serikatserikatburuh mereka sendiri, dan hidup berdampingan, tapiterisolasi dari dunia pribumi. Mereka memapankan diri sebagaipengemban kebudayaan metropolitan kolonial, mengelompoksendiri di daerah urban seperti Jakarta (dulu Batavia), Bandung,Semarang dan Surabaya, menikmati lingkaran-lingkaran kebudayaanmereka sendiri dalam bentuk konser, pameran kesenian, tari,teater dan bioskop.Golongan Cina sebagai lapisan perantara yang mengontrol sebagian
besar dari perdagangan eceran, industri kecil dan pengumpulbarang dagangan, juga kena pengaruh. Pembebasan perkampunganmereka, penghapusan surat jalan, pengakuan pada sekolah-sekolahCina dan perbaikan status hukum pada dasawarsa pertama abadke-20, yang diikuti oleh kejadian-kejadian politik di Cina daratandan terbuka lebarnya kesempatan kapitalisme pinggiran, telahmenambah kekuatan ekonomi serta mempertegas identitaskebudayaan dan sosial golongan Cina.
Golongan Eropa dan Cina menambah kekuatan ekonomi,mempertinggi prestise sosial dan mengembangkan kepentingankepentingankebudayaan, tetapi kaum pribumi–yang merupakanmayoritas dan lapisan paling bawah dalam piramide sosial–hanyamenambah jumlah saja. Ini ditunjukkan oleh hasil-hasilmenyedihkan dari berbagai survai mengenai kesejahteraan yangdilakukan oleh pemerintah dan nonpemerintah seperti yangdiringkaskan oleh Furnivall. Usaha-usaha perbaikan nasib pribumiseperti sistem irigasi, penasehat ahli untuk industri kecil danpertanian, perlindungan buruh, pemberian kredit dan pendidikannampaknya hanya terbatas sejauh kaum pribumi mensuplai tanahdan buruh untuk perkebunan Eropa dan pegawai untuk birokrasi.Dengan kata lain, negara kolonial merasa wajib hanya untukmengadakan usaha-usaha yang menghilangkan halangan danmengurangi efek negatif demi berjalannya modal. Pemerintahkolonial malah percaya bahwa perkebunan besar dan industripertambangan akan menjadi dasar bagi kemakmuran pribumi.

Dengan demikian, walaupun ada perbaikan, kaum pribumi tidakmembuat kemajuan yang berarti dalam industri, perdagangan atauperkapalan, apalagi menciptakan suatu kelompok golonganmenengah yang bergerak dalam usaha perdagangan dan komersial,walaupun tentunya ada kekecualian di sana-sini. Di Jawa Baratdan Tengah misalnya, kaum pribumi terlibat dalam kegiatan industritekstil, batik dan kretek sejak permulaari abad ke-20. Di Sumatera,kelompok koniersial pribumi juga muncul pada pertengahan tahun1920-an ketika perkebunan ekspor rakyat melampaui eksporperkebunan besar.Tetapi dua halangan struktural telah memacetkan pertumbuhankaum pribumi untuk menjadi golongan menengah yang mandiri

Pertama, konsentrasi dan kartelisasi dari korporasi multinasionalmenyebabkan pemasukan secara individual ke dalam bisnis kaumpribumi, malahan untuk golongan Cina pun, sangat sulit. Padawaktu komersialisasi ekonomi demikian tinggi bagi terciptanyakelompok usaha dan komersial pribumi, maka korporasi-korporasiinternasional memantapkan posisi monopolinya. Lebih-lebihnegara dan juga perekonomian semakin bergeser ke bawahpengaruh beberapa kekuatan ekonomi yang monopolistik danterkonsentrasi, dan sangat susah untuk mengejar kebijaksanaanyang melawan kepentingan monopoli itu.Kedua, peranan perantara golongan Cina dalam perdaganganeceran, servis, industri kecil, telah menutup kemungkinan bagigolongan pribumi untuk memperkuat posisinya dalam kegiatanbisnis tersebut. Inilah dasar struktur ekonomi yang membawa kaumpribumi untuk menyadari, bahwa politik adalah satu-satunya jalanyang terbuka guna melawan berbagai kekuatan yang telahmengkungkung mereka, dan secara efektif telah mempersiapkankaum pribumi untuk terlibat dalam suatu perjalanan perjuanganpolitik yang panjang.

Penetrasi modal secara intensif yang telah menciptakan efekefek,berbeda terhadap masing-masing lapisan sosial, tergantungpada pemilikan modal, akses pada pasar, organisasi, keahlian danpengalaman. Sementara untuk golongan Eropa dan–untuk tingkatyang lebih rendah–golongan Cina, penetrasi modal yang intensifberarti penambahan kekayaan dan kekuatan ekonomi, pengukuhankeunggulan mereka dalam kebudayaan dan prestise sosial. Untukgolongan pribumi, seperti yang dinyatakan oleh golonganmenengahnya yang kecil itu, berarti stagnasi ekonomi danpenyadaran politik dan ideologi untuk keperluan perjuangan politikmereka. Politisasi golongan pribumi ini pad akhirnyamempertanyakan kekuasaan kolonial dan juga orde sosial kolonial.Sebagai reaksi, pemerintah kolonial juga harus menciptakan
peralatan politik untuk mengontrol gerakan-gerakan politik yangditujukan pada eksistensinya, dan juga untuk mempertahankankeamanan dan keteraturan (rust en orde) dalam masyarakatkolonial.

Lahirnya Kelompok Menengah Pribumi
Di bawah pimpinan kaum intelektual, pemimpin agama danpedagang, organisasi nasionalis pertama yang didasarkan padadukungan massa adalah Sarekat Islam, yang dibentuk pada tahun1912. Organisasi ini berakar dari masyarakat dagang pribumi,Sarekat Dagang Islam, yang dibentuk pada tahun 1909 oleh RadenMas Tirto Adisoerjo, seorang aristokrat dan pedagang Jawa, jugamanajer suatu usaha dagang yang berada dalam proses likuidasi.

Lahirnya Sarekat Islam menggambarkan beberapa elemen pentingdalam proses politisasi dari kaum pribumi dan munculnyakelompok kecil dari golongan menengah pribumi. Pertama, SarekatIslam adalah gerakan politik dari kelompok atas golongan pribumiyang merupakan campuran dari kaum bangsawan, intelektualpendidikan Barat, pemimpin-pemimpin agama dan anggota darikelompok pedagang dan komersial. Kelompok ini mewakili embrioborjuis pribumi, pemimpin sosial dan politik dan juga metodebaru dalam mengorganisasikan pengetahuan dan pemikiran dalamhubungannya dengan dunia moderen. Mereka mulai mampumenangkap arti–dalam perspektif yang lebih luas–dari praktekpraktekdiskriminasi dan eksploitasi dalam pendidikan, kesempatanekonomi, profesi, administrasi hukum dan perundang-undangan.Ini juga berarti bahwa mereka bisa mulai melihat kemungkinankemungkinantindakan di luar orde kolonial, terutama wilayahlegitimasi yang sempit dan ekonomi kolonial.Karena tidak puas terjepit dan frustrasi akibat terbatasnyakesempatan bagi mobilitas ke atas mereka, dan pada saat yangsama dipaksa untuk menambah kekuatan politik mereka sebagai
syarat pergerakan politik, maka kelompok ini menyusunbermacam-macam organisasi dengan hubungan-hubungan kedaerah urban dan rural. Mereka mulai menimbang spektrum yangluas dari ideologi politik, taktik dan metode perjuangan politik,serta prospek dari kemerdekaan politik dan ekonomi. Inilah polaumum dari timbulmya bermacam-macam organisasi sosial danpolitik dalam dasawarsa kedua dan ketiga abad ke-20.Proses ini juga dibarengi dengan proses ideologisasi: mereka mulaiterbuka pada ideologi dan pemikiran Islam moderen, demokrasiliberal, sosialisme dan juga Marxisme-Leninisme, dan yang lebihpenting lagi, nasionalisme. Fakta bahwa Sarekat Dagang Islam(SDI), suatu asosiasi koperasi dari pedagang-pedagang batik Jawa,dibentuk dalam usaha untuk menghadapi persaingan dengangolongan Cina dan kemudian muncul kembali sebagai organisasipolitik berdasarkan massa, maka Sarekat Islam (S1), yang jugadidukung oleh banyak tokoh-tokoh dagang lahir dan menunjukkanborjuasi pribumi, walaupun amat kecil. Posisi monopolistis darikorporasi-korporasi Eropa dan kedudukan perantara yang strategisdari golongan Cina dalam bisnis, telah membuka politik sebagaisatu-satunya jalan bagi kaum borjuis pribumi untukmempertahankan posisinya dan juga dalam mengejar kepentingankepentingankomersial mereka.Pesatnya kemajuan Sarekat Islam dan dukungan luas yangdiperolehnya pada tingkat tertentu merupakan hasil daripelaksanaan politik etis yang memajukan pendidikan Barat bagielit pribumi, dan dari ketidakmampuan birokrasi negara danperusahaan swasta untuk menampung mereka yang terdidik yangcocok dengan latihan dan pendidikan mereka. Karena merasainferior dan tidak memiliki pekerjaan, tetapi pada waktu yangsama tercerabut akar-akarnya dari kehidupan tradisional, dengansendirinya mereka membentuk kelompok marginal (terbuang) yangselalu gelisah, yang terpaksa mencari pekerjaan bebas seperti
saudagar, pedagang, wartawan dan jenis-jenis profesi lain. Inilahpula sebabnya, dengan masuknya pedagang-pedagang Cina kedalam industri batik–benteng kaum saudagar-bangsawan Solo–mengundang reaksi cepat dalam bentuk organisasi pelindung,Sarekat Dagang Islam. Kelompok ini merupakan produk nyata dariproses yang cepat, di mana golongan bangsawan, kaum elitpendidikan Barat, pedagang, kaum profesional dan pemimpinpemimpinagama mentransformasikan diri mereka menjadipemimpin-pemimpi politik dan ideologi. Mereka menandailahirnya golongan menengah seperti yang didefinisikan tulisanini.

Kelahiran mereka yang menampilkan diri dalam berbagaigerakan politik kaum pribumi bersama dengan perubahan yangterjadi pada kekuasaan kolonial, telah membentuk politik HindiaBelanda sampai datangnya pasukan Jepang.Ketidakseimbangan dan distorsi dalam struktur sosial sertaketegangan antara strata-strata sosial sebagai akibat dari majunyakapitalisme pinggiran–yang telah membangunkan kesadaran politikdan ideologi golongan menengah yang kecil itu pada saatnya jugatelah mempolitikkan (politicized) negara kolonial. Pemerintahkolonial kini semakin mendasarkan diri pada mesin-mesin politikseperti P.I.D. (Politieke Inlichtingen Dienst), sensor koran,pelarangan pada organisasi dan pertemuan yang bersifat politik,kooptasi (merangkul menjadi anggota), penangkapan danpembuangan politik untuk mempertahankan eksistensinya.

Politisasi Negara Kolonial
Sampai pada akhir kekuasaannya, pemerintah kolonial gagal untukmemiliki suatu wawasan jangka-panjang dalam masalah politikseperti status politik Hindia Belanda, partisipasi kaum pribumidalam proses pengambilan keputusan dan birokrasi.Kebijaksanaannya cenderung bersifat ad hoc dan kurang persiapan.Tentu saja ini disebabkan oleh perubahan dalam keseimbanganpolitik dan kecenderungan ideologis di negeri Belanda, dan jugaoleh akibat tak disengaja dan di luar kontrol dari penetrasi modalke dalam dinamika susunan sosial kolonial. Ini nampak jelas dalamkebijaksanaan politik etis yang‘telah gagal mempertimbanganakibat pendidikan pribumi kalau dilihat dari kemampuan dankemauan lembaga (establishment) kolonial untuk memberikanpekerjaan. Di bawah kebijaksanaan ini, pendidikan yangsebenarnya dimaksudkan untuk mengintegrasikan elit pribumi,ternyata malah menjadi sumber disintegrasi dan radikalisme.Pemerintah kolonial juga tidak mampu melihat efek disintegratifdari masuknya modal yang intensif, yang disebabkan oleh akibatyang berlainan terhadap kelompok-kelompok sosial, rasial danekonomi yang berbeda-beda. Kependekan pandangan ini tercerminpada konsesi yang diberikan kepada golongan Cina dalamdasawarsa permulaan abad ke-20 yang telah mengundangterbentuknya SDI. Kebijaksanaan negara kolonial yang ditujukandemi kebutuhan lancarnya kapitalisme pinggiran berakibat fatal
dan telah mengintensifkan ciri pluralisme dan ketidakseimbanganmasyarakat. Pada pertengahan tahun 1920-an hasil dari politiketis bukanlah suatu masyarakat pribumi yang kuat dan bersatu,tetapi suatu masyarakat di mana kaum elitnya secara sosial telahdiradikalkan dan secara politik teragitasi.Karena ketiadaan kebijaksanaan yang komprehensif ini, dalamusahanya untuk mempertahankan keamanan dan keteraturan negarakolonial telah mendasarkan diri pada kebijaksanaan individual,ad hoc dan jangka pendek sifatnya, yang pada pokoknya bersifatpelarangan dan represi. Pada tahun 1913 Nationale Indische Partijditekan dan pemimpin-pemimpinnya diasingkan. Untuk mencegahintegrasi Sarekat Islam sebagai suatu korporasi utuh dan memutuscabang-cabang dari pimpinan pusat, pemerntah kolonial menolakmemberikan status hukumnya dan melancarkan kontrol secara tidaklangsung pada cabang-cabang-nya dengan memberikan statushukum secara individual. Sekali lagi, ini adalah suatu kebijaksanaanironis karena dengan kebijaksanaan ini, pemerintah justerumemperlemah kontrol pimpinan pusat yang relatif moderat padacabang-cabangnya, sehingga dengan mudah diinfiltrasi olehkelompok radikal. Sebagai hasilnya, pemerintah kolonialmenghadapi bukan pada Sarekat Islam yang terkontrol danmoderat, tetapi Sarekat Islam yang sudah diradikalkan, kelompokSarekat Islam Merah dan Partai Komunis. Pada tahun 1918 Sneevlietdiasingkan, dan sampai akhir kekuasaarmya pemerintah kolonialterus menerus melakukan penangkapan politik dan penekananlangsung sebagai instrumen untuk melemahkan gerakan politikpribumi.
Sejajar dengan penekanan langsung, pengasingan dan penangkapan,pemerintah juga siap dengan peralatan “hukum” untuk menakutigerakan politik kaum pribumi. Gubernur jenderal memiliki suatuotoritas untuk mengasingkan, menangkap tanpa otorisasi daripengadilan dan melarang penerbitan berkala yang dipandangbertentangan dengan keamanan umum. Perkumpulan bebas dan
pertemuan dikontrol secara ketat dengan ancaman penahanandan pemenjaraan. Dalam awal dasawarsa 1920-an, mengendornyaekonomi yang disebabkan oleh Perang Dunia Pertama,menyebabkan munculnya banyak perselisihan dan pemogokan dikalangan buruh industri. Gerakan kaum pribumi yang radikal denganbegitu mengkonsentrasikan kekuatan mereka di kalangan serikatserikatburuh. Pemerintah kolonial menghadapinya denganpengeluaran perundang-undangan yang keras ancaman hukumnya,kepada siapa saja yang dianggap mengganggu kelancaran jalannyaperekonomian.Pembahasan kita tentang perkembangan kapitalisme pinggiran inimenunjukkan betapa penetrasi modal Belanda dan Eropa dan caracarapengorganisasiannya–untuk mengeksploitasi surplus ekonomiserta pengintegrasian ekonomi Hindia Belanda ke pasaran dunia–memiliki dampak langsung, bukan hanya pada struktur ekonomi,tetapi juga pada watak struktur kekuasaan domestik. Kemajuanyang terus menerus dalam penetrasi modal, integrasi ekonomi kedalam pasar dunia dan ekspansi ekonomi tukar-menukar,menciptakan kekuasaan yang menekan, perekonomian yangdualistis dan susunan sosial yang tidak seimbang, disintegratif danpluralistis, yang akhimya menciptakan ketegangan dan alienasi.Suasana menjadi tegang secara politik ketika kelompok golonganmenengah muncul dalam masyarakat. Munculnya golongan inimerupakan suatu konsekuensi yang tidak disengaja darikebijaksanaan negara dan penetrasi modal dalam ekonomi. Faktorfaktor struktural seperti: ketidakmampuan ekonomi dankemapanan birokrasi kolonial dalam menyerap golongan pribumiterdidik secara Barat, dan faktor-faktor nonstruktural seperti:
pengaruh ideologi, kejadian politik di luar negeri dan kemampuanuntuk menangkap makna dari ketidakadilan kondisi kolonial, telahmembawa kelompok golongan menengah untuk mempertanyakanlegitimasi politik negara kolonial, dan menolak seluruh ordemasyarakat kolonial.

Dengan demikian pernerintah terdesak ke posisi yang defensif.Konflik terjadi antara pemerintah kolonial dan kelompok golonganmenengah pribumi, karena kedua pihak mengerahkan kekuatanpolitik masing-masing. Pemerintah menggerakkan aparat penekanseperti kekuatan polisi dan PID serta alat hukum yang menekandan jenis penekanan politik lainnya. Sementara itu golonganmenengah memobilisir segmen-segmen dalam masyarakat terdidik,sebagian buruh serta penduduk daerah urban dan rural. Sernuaperkembangan itu terjadi pada saat kapitalisme pinggiranmengalami puncak kejayaannya dalam periode antara tahun 1910sampai 1930. Kapitalisme pinggiran–karena watak dan ciri-cirinya–terpukul oleh kekuatan luar, yaitu depresi dunia yang dimulaitahun 1929, yang kemudian diikuti pendudukan Jepang dan perangkemerdekaan.

Periode Pasca-Kolonial
Distribusi kekuatan ekonomi, pola pemilikan dari aset-asetproduktif, alokasi faktor-faktor produksi dan sentralnya impordan ekspor dalam perekonomian pada dasawarsa pertama pascakolonialmenunjukkan betapa struktur kapitalisme pinggiran masihbertahan di Indonesia.9 Tetapi sebenarnya struktur ini dalamkeadaan rusak. Dalam tingkat internasional, hal itu disebabkanoleh dislokasi dan kerusakan yang diderita oleh pasaran duniaakibat perang dunia kedua. Pada tingkat domestik, disebabkanoleh kehancuran prasarana, organisasi kapitalis dan kemapanankeuangan akibat gejolak politik dari tahun 1942 sampai 1949.Walau pun demikian ciri dan kecenderungan kapitalisme pinggiranmasih tetap nampak.Karena struktur ekonomi masih mencerminkan struktur kolonial,maka watak dan susunan masyarakat yang tidak seimbang dan
pluralistik warisan dari zaman kolonial, tetap bertahan. Namundemikian, revolusi politik secara kualitatif telah mengubah susunanmasyarakat tersebut, terutama pada strata atas dan munculnyamassa yang terpolitikkan. Perubahan kualitatif ini menandailahirnya suatu pola baru dari konflik-konflik ekonomi, politik danideologi. Kekuatan ekonomi asing kini tidak didukung, dandilindungi oleh partnernya yang vital negara kolonial–sehinggaberdiri di atas landasan yang rapuh dan rawan (vulnerable) secarapolitik. Sampai tahun 1965, kekuatan kemampuan ekonomi asingyang telah demikian lamanya bertindak sebagai penghubungdengan pasaran internasional, –yang memberikan andil pentingdalam struktur kapitalisme pinggiran–mulai surut.Perjuangan kemerdekaan memaksa kelompok menengah inimemobilisir massa yang terpolitikkan demi membuktikan kepadadunia dukungan populer kepada kemerdekaan. Kelompok golonganmenengah ini tiba-tiba menemukan dirinya sebagai golongan elitpolitik baru, tetapi suatu elit tanpa dasar kekuatan ekonomi yangkuat (solid). Mereka secara politik tidak bisa mengidentifikasikan
kepentingan mereka dengan kepentingan ekonomi kapitalis ataupembangunan ekonomi kapitalis pada umumnya.Namun demikian, kepentingan ekonomi mereka yang diwakili olehpedagang-pedagang dan eksportir pribumi, pandangan merekayang liberal, dicampur dengan perasaan bahwa mereka tidak bisamenghapuskan kemapanan ekonomi asing–karena memiliki sedikitatau sama sekali tidak ada yang bisa ditawarkan untukmenggantikannya, dan juga bahwa pengusiran perusahaanperusahaanasing akan menyebabkan kesulitan yang serius–telahmembawa mereka memiliki kecenderungan untukmempertahankan status-quo ekonomi. Dan kenyataannya, merekatidak pernah mengejar suatu kebijaksanaan yang secara langsungmenyerang kapitalisme pinggiran. Malahan, mereka berusahauntuk memasukkan pengusaha pribumi ke dalam suatu strukturyang tetap utuh melalui pribumisasi keputusan dan kredit.

Tetapi usaha-usaha tersebut gagal terutama dalam menghadapihalangan struktural yang menyebabkan kekurangan devisa dantekanan inflasi. Ironisnya, kekuatan politik golongan menengahyang tidak pernah digunakan untuk menyerang kapitalismepinggiran ini dilemahkan oleh kekukuhan dan ketegaran strukturitu. Akhirnya mereka dikesampingkan oleh kekuatan-kekuatansosial dan politik yang menawarkan pemecahan yang lebih radikal.Golongan menengah menyalurkan aspirasi mereka melalui partaipartaipolitik yang sempat berkuasa selama sistem parlementerdalam periode tahun 1949 sampai 1957, dan sebagian juga melaluibirokrasi. Kebijaksanaan-kebijaksanaan kabinet-kabinet Hatta,Natsir, Sukiman, Wilopo, yang berkuasa secara berturut-turut dariDesember 1949 sampai Juni 1953, dan juga kabinet BurhanuddinHarahap dari Agustus 1955 sampai Maret 1956, mencerminkan ciricirigolongan menengah. Kelima kabinet im menunjukkanpersamaan yang cukup menonjol dalam usaha memecahkanmasalah-masalah nasional dan ekonomi. Mereka menaruh perhatianbesar pada usaha untuk memulihkan keadaan “normal”,menekankan pentingnya pemerintahan yang kuat, bersatu danefisien, pentingnya menambah dan memulihkan produksi untukmerangsang pembangunan, serta mencapai dan mempertahankansuatu stabilitas keuangan.Sikap “pragmatis-konservatif ” ini juga nampak dalam sikap merekamenghadapi struktur kapitalisme pinggiran. Kekuatan ekonomiBarat di bidang perkebunan, industri minyak, pengapalan danperkapalan, dan kekuatan ekonomi Cina di bidang perdaganganeceran dan industri kecil, dibiarkan utuh tanpa suatu tantanganyang serius, kecuali di bidang perbankan dan impor; dan ini hanyatantangan kecil yang tidak berarti.

Namun tidak berarti bahwa mereka tidak mencoba untukmengubah ekonomi. Malahan mereka membentuk beberapaperusahaan negara, dan yang lebih penting lagi: melancarkan usahayang sangat nasionalistis untuk mengurangi ketergantunganekonomi nasional pada kepentingan ekonomi asing. ProgramUrgensi Ekonomi yang dilancarkan oleh kabinet Natsir palingmenaruh perhatian pada tindakan-tindakan di bidang ekonomi,dengan Menteri Perdagangan dan Industri SumitroDjojohadikusumo.

 umitro merumuskan kebijaksanaan itu berdasarkan asumsiasumsi:
1. kalau hubungan kekuasaan yang diwarisi dari zaman kolonialmasih bertahan, maka mayoritas penduduk akan tetap miskin;
2. industrialisasi harus menggantikan kontrol ekonomi yang dilakukanoleh “kepentingan yang secara organis tidak berakar dalammasyarakat Indonesia” dan
3. pertanian dan industri adalah salingmelengkapi sebagai suatu alternatif usaha; industrialisasi diperlukansebagian untuk mendinamisir daripada mengganti pertanian.

Sumitro mengusulkan skema industrialisasi yang akan bertindaksebagai penentu strategis dari pertumbuhan, khususnya untukmemulai industri-pengganti-impor, yang akan mengurangisensitivitas perekonomian Indonesia pada pengaruh siklis pasaraninternasional, dengan memberikan pinjaman dan bantuan kepadapengusaha pribumi dan mencadangkan pasar-pasar tertentu bagipengusaha pribumi (Program Benteng).

Suatu rencana yang lebih konservatif ditawarkan oleh SjafrudinPrawiranegara, yang mengusulkan agar prasarana–khususnyatransportasi–diperbaiki, produktivitas pertanian dipertinggi; danmenyarankan agar usaha dikonsentrasikan pada produksi beras,karena pada saat itu xenophobia hanya akan membahayakanindustri ekspor, yang pada gilirannya mengurangi kemampuanimpor, dan dengan demikian membahayakan pembangunan dan
ekspansi produksi.Bagaimana kita menjelaskan “pragmatisme-konservatif ” ini?
Tulisan mi mempertahankan suatu pendirian, bahwa latar belakanggolongan menengah dan kepentingan-kepentingan ekonomi,hakekat dari saling hubungan pemimpin-pemimpin kelompok itudan juga watak dari para pengikutnya, telah memberikan pengaruhbesar pada “pragmatisme-konservatif ” tersebut. Kaum intelektualdan profesional kota telah mendominasi kepemimpinan kabinet-
kabinet ini. Tradisi kaum profesional yang memiliki perananpenting dalam politik tetap kelihatan kuat dalam periode ini.Partai-partai yang menonjol seperti Masjumi, PSI dan untuk tingkatyang lebih kurang juga PNI memperoleh dukungan yang substansialdari “kompleks profesional”. Ini tidak mengherankan karenasebagian besar pemimpin-pemimpin partai itu berasal darigolongan berpendidikan Barat. Cara hidup dan memperolehpendapatan membawa mereka untuk tertarik pada perubahanekonomi yang damai dan inkremental sifatnya. Setidak-tidaknyamereka tidak akan merasa rugi besar kalau mempertahankan suatuperekonomian yang berorientasi pada status-quo.Dengan alasan-alasan ini dengan sendirinya mereka tidak tertarikpada pemecahan yang radikal. Malah sebenarnya kepentinganmereka sejajar dengan kepentingan lembaga (establishment)ekonomi Barat, yaitu: stabilitas, keteraturan, penegakan hukumdan pembangunan ekonomi “menetes ke bawah”. Tradisi tuakoalisi antara kaum bertahan kau profesional, kelompok
pedagang dan pengusaha pribumi juga masih bertahan: kaumpribumi bermilik memberikan dukungan kuat pada kelompokprofesional dan berpendidikan Barat yang berkecimpung dalampolitik.

Dari kenyataan bahwa “pragmatisme konservatif” yang menguasaikabinet itu berasal dari asal-usul sosial ekonomi golonganmenengah, kita juga bisa melihat masalahnya dalam perspektifyang lebih luas, dengan menyarankan bahwa kebijaksanaan itumerupakan artikulasi tertinggi dari golongan menengah untuk
mengejar kepentingan ekonominya. Ini bisa ditunjukkan bahwakebijaksanaan itu pada analisa terakhir–setidak tidaknya secarateoritis–dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kelompokpemupuk modal yaitu kelompok pedagang dan pengusaha.Program Urgensi Ekonomi yang radikal dan nasionalistis dariSumitro pada dasarnya adalah suatu usaha membantu kelompokpedagang dan komersial untuk meloncat ke dalam sektor moderenekonomi Indonesia, yaitu industri-industri besar, pada khususnyaindustri pengganti impor, dengan memberikan bantuan teknis,organisasi dan keuangan. Sjafruddin Prawiranegara, yang dukungankuatnya dalam Masjumi datang dari kelompok pedagang dankomersialdi kota-kota kecil dan daerah rural, mengajukan usulyang menekankan pentingnya bantuan dan perlindungan kepadaindustri-industri kecil, rehabilitasi prasarana dan peningkatanproduksi pertanian.

Kepentingan-kepentingan ekonomi telah dikejar oleh kelompokmenengah melalui program politik yang diperjuangkan dalamkabinet dan parlemen. Negara ditujukan untuk menciptakan suatupemerintahan yang kuat, bersatu dan efisien, dan yangmencampuri ekonomi secara, merkantilis, dengan tujuan tetapmempertahankan bekerjanya pasar bebas, dan mencapai suatukestabilan ekonomi dan keuangan. Sistem parlementer telahmelayani dengan baik kepentingan-kepentingan ini. Sistem inijuga melayani tujuan ideologis dari kelompok golongan menengah,dengan menjamin supremasi kelompok sipil, dan perwakilangolongan sipil dalam lembaga pengambilan keputusan sertamenegakkan prinsip liberalisme dan negara hukum.Tetapi kapitalisme pinggiran yang rusak itu telah menciptakanketegangan dan konflik tak terpecahkan, yang pada akhirnyamengakibatkan kekalahan politik golongan menengah. Uraianperkembangan kapitalisme pinggiran menunjukkan bahwa
pendapatan yang diperoleh dari ekspor bahan mentah dan produksipertanian sangat kritis untuk bekerjanya struktur kapitalismepinggiran. Gangguan pada sektor-sektor itu segera menimbulkanakibat yang dalam pada seluruh struktur perekonomian. Peristiwainilah yang sebenarnya terjadi pada permulaan periode postkolonial,yang dimulai pada tahun 1952 ketika pendapatan dariekspor–yang meningkat secara substansial selama boom perangKorea–merosot.Dari saat itu sampai tahun 1966, perekonomian Indonesiamengalami kemerosotan yang terus menerus dalam pendapatanekspornya. Dengan begitu perekonomian berfungsi di bawahancaman kekurangan devisa, dan dengan begitu kemampuanmengimpor yang terus menerus turun. Begitu kegiatan impor dan
ekspor menurun, maka pendapatan negara juga menurun. Karenamerupakan suatu keharusan bahwa negara mengklaim sebagiandari pendapatan nasional untuk menutupi pembelanjaannya, makaketergantungan pada bahan mentah, barang konsumsi dan kapitalimpor telah mengubah kekurangan devisa menjadi tekananinflatoir struktural yang terus menerus. Ini tentu saja disebabkankarena pendapatan negara tergantung pada pajak-pajak tidak
langsung.Dilihat dari segi anggaran, persoalannya adalah bahwa untukmengklaim sebagian dari produk nasional negara, karenapendapatannya semakin turun–harus mendasarkan diri padaanggaran defisit: suatu tekanan inflatoir dari pihak pembelanjaan.Kecenderungan ini mulai terjadi setelah boom perang Koreaselesai, sehingga kabinet Sukiman harus menghadapi kesulitankeuangan dan menempuh anggaran defisit, sampai pada tahun1965. Kekurangan devisa juga menyerang kegiatan produksidomestik karena ketergantungan pada barang modal dan bahanimpor. Begitu kemampuan produksi dalam negeri dan kemampuanmengimpor barang konsumsi turun, maka muncullah persoalankelangkaan barang. Ini dikombinasikan dengan defisit negarasehingga menciptakan tekanan inflatoir struktural yang terusmenerus.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan ini, pemimpin-pemimpinyang mewakili golongan menengah telah menghadapi suatu dilema.Keyakinan politik dan ideologi mereka–dan yang lebih pentinglagi kepentingan ekonomi dari kelompok yang mereka wakili–mengharuskan mereka untuk melawan kecenderungan yang kuatpada waktu itu. Melawan inflasi bukan hanya keharusan ideologis,tetapi juga masalah survival politik, karena inflasi akanmelemahkan pendukung-pendukung politik mereka, khususnya diantara kelompok pedagang, komersial dan industri kecil. Sejakberkuasa mereka telah bekerja keras melawan inflasi.

Pada waktu itu tidak ada tantangan yang serius pada temakebijaksanaan ekonomi golongan menengah ini. Malahan di bawahkabinet Natsir, pada waktu boom perang Korea, mereka secaraberani melancarkan pribumisasi perekonomian dengankebijaksanaan Urgensi Program Ekonomi dan Program Bentenguntuk menciptakan kelompok kapitalis pribumi. Berakhirnya boomPerang Korea telah menimbulkan persoalan. Di bawah ancamankekurangan devisa dan anggaran defisit, kabinet Wilopo dengancepat menawarkan kebijaksanaan penghematan, termasuk untukmerasionalisasi angkatan bersenjata melalui modernisasi danpengurangan personil. Rencana rasionalisasi ini ditantang olehbermacam-macam kelompok dalam angkatan darat, yang melaluihubungan politik dan pribadi dengan kelompok PNI sayap SidikDjojosukarto, Presiden Sukarno dan beberapa partai kecil oposisi,berhasil memblok pengesahannya dalam parlemen. Pada tanggal17 Oktober 1952, angkatan darat mengorganisir suatu demonstrasi–yang dipimpin oleh perwiraperwira pro-nasionalisasi–menuntutagar presiden membubarkan parlemen, suatu tuntutan yang ditolakoleh presiden. Peristiwa ini lebih merupakan suatu mikrokosmoskonflik politik yang akan terjadi selanjutnya.
Rencana kebijaksanaan penghematan dan rasionalisasi telahmengakibatkan kekalahan politik bagi para pendukungnya,termasuk perwira-perwira tinggi angkatan darat, kabinet danpendukung lainnya. Usaha melawan inflasi yang dilakukan olehgolongan menengah menemui halangan politik: kekuatan-kekuatanpolitik yang merasa kepentingan ekonominya terancam,menentangnya secara terbuka. Seperti sudah dikemukakansebelumnya, untuk keselamatan politiknya dan untuk melayanikepentingan ekonomi para pendukungnya, golongan menengahterpaksa mengejar suatu kebijaksanaan yang mendukung perluasanmodal, yaitu: stabilitas ekonomi, penghematan keuangan dan
peningkatan produksi. Sayangnya, di bawah suatu keadaan di manakemapanan ekonomi asing masih mendominasi perekonomian,kebijaksanaan semacam ini berarti menambah kekuatan ekonomidan dengan demikian kekuatan politik dari kekuatan ekonomiasing. Lebih buruk lagi, karena tingkat akumulasi yang lebih tinggidalam perusahaan-perusahaan asing, pengusaha-pengusaha pribumiyang kepentingannya akan diperjuangkan oleh kelompok golonganmenengah selalu akan berada dalam posisi yang inferior dan tidakmenguntungkan, yang melawan aspirasi mereka sendiri. Inilahpertentangan-pertentangan yang terkandung dalam diri golonganmenengah. Dalam mengejar kepentingan ekonomi mereka sendiri,pada kenyataannya mereka telah mengundang kekalahan politiknyasendiri.

Golongan menengah nampaknya berusaha mengkompensasikeadaan sulit ini dengan mengusulkan program pribumisasiekonomi. Konsisten dengan kebijaksanaan ekonomi secarakeseluruhan, program ini didasarkan pada sistem pemasukanindividu secara bebas. Campur tangan pemerintah dirancangkanuntuk menciptakan suatu kelompok komersial dan industrialpribumi sejajar dengan kelompok asing, tanpa sedikit punmengganggu struktur kapitalisme pinggiran. Tetapi situasi kritisdari cadangan devisa dan efek-efek yang sangat merugikanekonomi telah menciptakan halangan yang tak teratasi. Masalahnyaberasal dari konflik tak terselesaikan antara kebutuhan untukmeningkat kan ekspor demi menghindari kekurangan devisa danakibat yang melawan kestabilan dari ekspansi kredit atau campurtangan dalam ekonomi usaha pribumisasi ekonomi.Usaha meningkatkan ekspor memerlukan stabilitas ekonomi dankeuangan, tetapi dengan pengaturan, campur tangan pemerintahdan ekspansi kredit yang berlebihan tidak menstabilkan ekonomi,
dan akhirnya membahayakan ekspor dan cadangan devisa. Inflasiyang serius dan dirasakan akibatnya secara luas–yang mulai terjadidi pertengahan tahun 1954-–terutama disebabkan olehkebijaksanaan pribumisasi melalui kredit, pengeluaran lisensi danproteksi, yang mengakibatkan defisit anggaran belanja danpengurasan cadangan devisa.Dengan demikian kiranya dapat dikatakan, bahwa nasib burukterus menerus yang menimpa golongan menengah dalam mengejarkepentingan ekonomi mereka dan melaksanakan kepemimpinandi bidang ekonomi, mungkin bukan disebabkan oleh kegagalankegagalanpribadi dan kecenderungan ideologis, tetapi nampaknyalebih disebabkan oleh situasi struktur sosial dan ekonomi yangtidak menguntungkan. Struktur kapitalisme pinggiran yang ternyatamengandung begitu banyak pertentangan yang sulit diatasi itu,telah memaksa golongan menengah melakukan peran yang tragis.
Tragedi yang bersifat ekonomi itu kemudian masuk ke lapanganpolitik dan ideologi, ketika kelompok bukan golongan-menengahmenstransformasikan kesulitan ekonomi ini menjadi masalahpolitik dan ideologi.

Dengan menguraikan secara terpadu gejala-gejala strategis dalamperkembangan politik ekonomi Indonesia seperti di atas, kitabisa melihat kesinambungan yang menarik dari kondisi-kondisistruktural ekonomi dan sosial serta peranan negara dan ideologi.Sikap teoritis kita terhadap tuntutan-tuntutan yang mestinyadipenuhi untuk memahami politik Indonesia secara lebih baikseperti di atas, juga bisa dipenuhi. Kelemahan-kelemahan dalamstudi politik Indonesia–-satu dimensi, ahistoris dan kurangmenangani struktur sosial dan ekonomi dan dengan begituberwawasan pendek dan tidak mendalam–juga bisa kita hindari



Tidak ada komentar:

Posting Komentar